Oleh Abdul Halim Rahmat*
Suasana kelas seketika menjadi hening ketika seorang guru memasuki ruang kelas. Tidak begitu lama kemudian terucap dari mulutnya, “Hari ini kalian boleh pulang, karena guru-guru akan mengadakan rapat sekolah”. Sontak kelas yang hening itu berubah jadi gaduh, “horee..” semua siswa berteriak kegirangan.
Fenomena tersebut di atas sudah sering kita dengar dan bahkan kita alami sendiri. Terikan “horee” yang diekspresikan siswa tersebut menunjukkan rasa kegirangan terbebas dari belajar. Padahal mereka sudah bangun pagi-pagi, kemudian berangkat ke sekolah dan tentunya siap untuk belajar. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik menjalani proses belajar di sekolah bagaikan dalam penjara. Ternyata sistem persekolahan kita masih tidak membebaskan dan tidak menyenangkan bagi siswa.
Suasana belajar yang menyenangkan adalah salah satu faktor yang dapat mendukung keberhasilan pembelajaran, karena disitu ada motivasi dari siswa untuk belajar. Jika motivasi dari siswa tidak ada, maka dapat dipastikan bahwa proses belajar mengajar tidak akan mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Karena itu seorang guru dituntut untuk dapat memunculkan semangat dan motivasi siswa untuk belajar terlebih dahulu dengan mendesain pembelajaran yang menyenangkan. Seorang guru dituntut untuk memiliki jiwa kreatifitas. Kreatif dalam merancang sebuah pembelajaran, kreatif dalam menciptakan model-model pembelajaran dan kreatif dalam menggunakan alat dan sumber pembelajaran.
Guru yang kreatif, secara tidak langsung akan menjadikan siswanya menjadi kreatif pula, bahkan bisa jadi kreatifitas siswa akan melebihi dari gurunya, bak pepatah mengatakan, ”guru kencing berdiri, murid kencing berjalan”. Model-model pembelajaran yang merangsang kreatifitas akan memunculkan ide-ide segar dari siswa untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang materi pembelajaran.
Pada dasarnya semua manusia yang terlahir ke dunia ini membawa naluri kreatif. Manusia zaman dahulu bisa menciptakan berbagai fasilitas hidup dan dapat beradaptasi dengan alam sehingga manusia bisa bertahan hidup sampai sekarang. Tetapi kenapa tiba-tiba sekarang para siswa menjadi sosok yang takut atau malu-malu untuk mengungkapkan ide-ide maupun pertanyaaan, begitu duduk di bangku sekolahan. Salah satunya karena mereka merasa dalam tekanan ketidakdinamisan kurikulum dan kekurang kreatifan guru-guru dalam merancang proses pembelajaran.
Tantangan Bagi Guru di Era Digital
Tantangan di masa depan, dengan karakteristik perkembangan masyarakat dan dunia yang semakin kompleks, menuntut guru untuk mampu memunculkan kreativitasnya dalam merancang model pembelajaran baru agar anak didiknya menjadi kreatif pula. Sehingga nantinya, para siswa mempunyai bekal dan kemampuan dalam menghadapi hidup yang makin mengglobal ini.
Nancy Walser, sebagaimana dikutip Manthey G (2008), dalam tulisannya berjudul Attaining 21st Century Skills in a Complex World, mengingatkan agar sekolah membekali anak didiknya dalam hal berpikir kritis, kemampuan kerja sama, keterampilan berkomunikasi baik lisan maupun tulisan, bekerja mandiri, memimpin, beradaptasi secara cepat, dan tanggung jawab, serta memiliki wawasan global.
Kini, apa yang dikatakan oleh Walser itu telah terbukti. Masyarakat dunia didominasi oleh mereka yang memiliki pemahaman, keterampilan, dan pengetahuan yang cukup tentang hal-hal tersebut di atas. Untuk bisa memiliki semua kemampuan tersebut, masyarakat berharap kepada institusi sekolah untuk dapat mewujudkannya. Karena sebagian besar waktu mereka di habiskan di sekolah. Sosok guru sangat penting disitu, karena ia adalah figur sentral dalam institusi sekolah.
Sekarang, dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin maju, perubahan struktur masyarakat yang semakin cepat, menuntut seorang guru untuk menjadi sosok yang khas, yang memahami materi pembelajaran secara luas, terampil dan kreatif dalam pendekatan mengajar serta mampu memahami dan memfasilitasi keberbedaan individual pada diri setiap anak.
Peran itu tidak akan mungkin dijalankan seorang guru ketika mereka sendiri tidak mau menyiapkan diri dan tidak mau berubah. Guru harus melakukan perubahan dari dirinya sendiri. Guru tidak selayaknya meminta pihak mana pun untuk mengubah dirinya. Gurulah yang harus menyelesaikan masalah pendidikan. Pemerintah hanya bertugas sebagai lembaga yang mengurus dan mengelola administrasi pendidikan.
Salah satu perubahan yang harus di lakukan guru di era digital ini adalah mampu menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan menerapkannya dalam proses belajar-mengajar. Seorang guru harus mulai mengikuti trend pendidikan mutakhir. Trend TIK dengan fasilitas digital dan dukungan internet sebagai fasilitas belajar menjadikan kebutuhan wajib. Bila guru tidak berubah dan tetap bertahan dengan pola konvensional, maka ia akan tergilas oleh teknologi dan percepatan pengetahuan siswa-siswinya yang sangat melek teknologi. Kebutuhkan TIK sudah menjadi kebutuhan bersama. Konsep E-Learning sudah bergulir dan tidak sekedar wacana namun sudah menjadi realita.
Sungguh menyenangkan ketika penulis mengajar di sebuah Sekolah Menengah Atas , ketika dilakukan diskusi kelompok di kelas, siswa-siswa saling beradu argumentasi disertai data-data yang valid, akurat dan up to date. Sehingga suasana diskusi menjadi hangat dan bersemangat, para siswa termotivasi untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang materi yang didiskusikan. Pada waktu itu, penulis membebaskan para siswa untuk mengakses internet melalui ponsel yang dimiliki siswa. Dengan bantuan mesin pencari seperti “Google”, para siswa dengan mudah mendapatkan data yang mereka inginkan. Sehingga para siswa tidak akan kehabisan bahan atau sumber belajar. Mereka tidak terpaku kepada buku teks yang mereka miliki, namun bisa mengeksplor lebih jauh lagi dengan bantuan internet.
Penggunakan fasilitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam proses pembelajaran, sungguh menjadi kebutuhan pendidikan sekarang ini dan di masa depan. Dengan fasilitas TIK, proses pembelajaran menjadi menyenangkan, menarik, dan dapat merangsang keingintahuan siswa lebih jauh tentang materi yang dipelajari.
Seiring dengan hal tersebut di atas, Klub Guru Indonesia (KGI) sebagai organisasi profesi guru yang didirikan dan dibangun oleh para guru dan aktivis pendidikan berupaya untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya agar dapat menjadi pelaku perubahan dalam pembangunan bangsa ini. Para guru harus mampu mengubah dirinya sendiri menjadi guru profesional dibidangnya. Dengan motto “Sharing and Growing Together”, Klub Guru Indonesia akan menjadi komunitas yang tepat bagi para guru dan siapa saja yang tertarik dan peduli pada pentingnya memajukan dunia pendidikan dan keguruan.
Sebagai upaya agar para guru menguasai dan memahami TIK serta pro aktif menggunakannya dalam pembelajaran, Klub Guru Indonesia dengan support dari Intel Indonesia Corporation membuat program “Sagusala” (Satu Guru Satu Laptop) yang merupakan terobosan agar setiap guru di Indonesia memperoleh kemudahan dalam memiliki laptop sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran dan Sagumutu (Sekolah Guru Bermutu) dengan memberikan berbagai pelatihan TIK untuk guru yang disusun secara sistematis dan berkelanjutan
Menjadi guru kreatif di tengah murid-murid masa kini memang tidak mudah tetapi juga bukan mustahil, semua tergantung pada diri sang guru itu sendiri. Mau berubah atau tidak.